Telaah Kritis Putusan Mahkamah Konstitusi Tentang Pemilu Serentak
Oleh : HMP. HARYOGI.*
Pemilihan umum serentak dimaknai sebagai pemilihan umum (Pemilu) yang dilakukan secara bersamaan yaitu memilih Presiden/Wakil presiden, memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat baik di pusat maupun di daerah, yang menurut istilah SLAMET EFFENDY YUSUF (mantan ketua rapat amandemen UUD 1945) pemilu serentak ini dimaksudkan adalah PEMILU LIMA KOTAK, yaitu Kotak pertama untuk Presiden/Wakil Presiden, Kotak Kedua untuk Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah), Kotak ketiga untuk anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), Kotak keempat untuk Anggota DPRD Propinsi, Kotak Kelima untuk DPRD Kabupaten/kota.
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi telah menangguhkan pemilu serentak, yaitu belum bisa dilaksanakan pada pemilu tahun 2014 ini, melainkan baru bisa dilaksanakan pada tahun 2019 mendatang.
Setidaknya telah dua kali ini Mahkamah Konstitusi menangguhkan pada tenggang waktu tertentu, pada saat menguji tafsir pasal dalam suatu Undang-undang bertentangan dengan Konstitusi (Undang-undang Dasar 1945), yaitu yang pertama dengan putusan Nomor : 012-016-019/PUU-IV/2006, bertanggal 19 Desember 2006, yang mana Menurut putusan Mahkamah tersebut, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) harus dibentuk dengan Undang-Undang tersendiri, paling lambat tiga tahun sejak dikeluarkannya putusan MK tersebut, yang kedua adalah PUTUSAN Nomor 14/PUU-XI/2013, tanggal 23 Januari, 2014, yang mana menangguhkan pelaksanaan pemilihan umum serentak untuk tahun 2019.
Dari kedua putusan MK tersebut seolah-olah Mahkamah konstitusi telah keluar dari Rel yang diharuskan oleh Undang-undang, yang mana seharusnya Mahkamah konstitusi hanyalah bertugas untuk menetapkan Bahwa Undang-undang bertentangan dengan Konstitusi atau tidak, serta berlaku sejak diucapkan dalam sidang, tetapi kenyataannya MK telah menetapkan batasan waktu berlakunya suatu Undang-undang, yang mana seharusnya aturan ini menjadi kewenangan pembentuk Undang-undang (Legislatif).
Banyak sekali komentar yang mempertanyakan, putusan Mahkamah Konstitusi, yang menetapkan pemilu serentak akan dilaksanakan pada tahun 2019, tidak untuk pemilihan Umum tahun 2014 ini. Komentar para ahli tersebut pasti didasarkan pada kepentingan masing-masing, sebut saja salah satunya Yusril Ihza Mahendra (Liputan 6.com 27/1/2014) mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan pemilu baru bisa digelar serentak mulai 2019. Seharusnya, kata dia, putusan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden itu menyatakan, pemilu serentak bisa digelar mulai 2014.
Tidak bermaksud untuk menambah kehebohan penyikapan terhadap putusan MK tersebut, tulisan ini sedikit memberikan cara pandang yang obyektif yang lebih bersifat kenegarawanan dalam menyikapi pemilihan umum serentak ini, karena harus disadari oleh seluruh anak bangsa ini, bahwa pemilihan umum hanyalah suatu cara untuk mengantarkan bangsa Indonesia dalam mencapai tujuannya, janganlah diletakkan bahwa pemilu sebagai suatu tujuan akhir, proses pemilu hanyalah sebagai suatu media saja untuk mencapai tujuan, diantara sekian banyak cara yang lain untuk mencapai tujuan bernegara ini yaitu Negara Indonesia yang Adil dan Makmur. Jadi janganlah membabi buta dalam memperjuangkan ide pemilu serentak ini, masih banyak cara yang lainnya.
CONTRA ASAS
Putusan hakim secara umum, termasuk didalamnya putusan Hakim Mahkamah Konstitusi, haruslah bisa dipakai sebagai solusi untuk menyelesaikan suatu masalah “to seatlle of Dispute”, tidak akan berarti suatu putusan hakim apabila dengan diputuskan, tidak akan menyelesaikan suatu problem yang menjadi obyek sengketa, bahkan harus dihindari dengan diputuskan suatu masalah akan menimbulkan masalah yang baru. Karenanya penemuan hokum oleh hakim “Rechtsvinding” menjadi keniscayaan bagi hakim, dan setidaknya ada tiga Asas, yang selalu harus menjadi pedoman hakim dalam memutus suatu perkara yaitu Pertama Asas Kepastian Hukum, Kedua Asas Keadilan dan ketiga Asas Manfaat.
Pada aplikasinya, terhadap ketiga asas tersebut, akan selalu berada dalam kutub yang bertentangan, akan sangat sulit membuat sinkronisasi terhadap asas kepastian hokum (yang harus ada aturan hukumnya atau Positivisme), dengan asas keadilan yang obyektif dan dihubungkan dengan asas manfaat, terutama dalam hidup bermasyarakat ini. Pada saat terjadi pertentangan antar asas ini, maka asas kemanfaatan bagi kepentingan masyarakatlah yang harus dimenangkan yakni sejalan dengan teori Hukum yang Progresif (Benhard L Tanya Dkk, TEORI HUKUM 2006: hal 175).
Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilu serentak, yang baru bisa dilaksanakan tahun 2019 tersebut, kalau ditelaah lebih dalam lagi terdapat pertentangan antar asas, disatu sisi MK dalam memutus sengketa tidak boleh melampaui kewenangannya, serta dilarang menetapkan jangka waktu berlakunya suatu aturan hukum, tetapi pada kenyaataannya lebih mengedepankan Asas Manfaat, seperti tercermin pada alasan hokum yang menyatakan Bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati waktu pelaksanaan. Seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum, baik Pilpres maupun Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan, telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa. Demikian juga persiapan-persiapan teknis yang dilakukan oleh penyelenggara termasuk persiapan peserta pemilihan umum dan seluruh masyarakat Indonesia telah sampai pada tahap akhir, sehingga apabila UU 42/2008 dan ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres yang akan diputuskan dalam perkara ini harus diberlakukan segera setelah diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum maka tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat, terutama karena kehilangan dasar hukum. Hal demikian dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum pada tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945. Disamping juga perlu dibuat Undang-undang baru yang mengatur tentang pemilu serentak tersebut, dan dihubungkan dengan waktu yang tersedia, dengan penalaran yang wajar akan sangat sulit unyuk dilaksanakan.
FINAL AND BINDING
Pasal 10 Undang-undang MK (UU 24/2003 jo UU 8/2011) menyatakan bahwa putusan MK bersifat final, dalam artian Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Undang-Undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding). tidak ada upaya hokum yang lain yang bisa dilakukan oleh para pihak, dengan demikian membawa implikasi bahwa semua putusan MK, termasuk didalamnya putusan tentang pemilu serentak ini, mewajibkan kepada organ-organ Negara untuk merancang beberapa aturan hokum sebagai pelaksana lebih lanjut dari ketentuan MK ini, yang tentunya akan berimplikasi mewajibkan untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang lebih baik dan komprehensif Selanjutnya, kepada penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan harus mendasarkan pada putusan Mahkamah inidan tidak dapat lagi diselenggarakan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara terpisah. Selain itu, Mahkamah berpendapat memang diperlukan waktu untuk menyiapkan budaya hukum dan kesadaran politik yang baik bagi warga masyarakat, maupun bagi partai politik untuk mempersiapkan diri dan melaksanakan agenda penting ketatanegaraan nantinya.
Tidak ada yang kontroversial ataupun aneh terhadap putusan ini, demikian menurut Mantan ketua Mahkamah konstitusi JIMLI ASHSHIDIQI (liputan6.com 29/1/2014), senada dengan itu SALDI ISRA (Opini Saldi Isra, (Bukan) Putusan yang Hambar, 27/1/2014), juga mengatakan hal yang senada terhadap putusan MK ini karena materinya sudah sesuai dengan rel berfikir MK, dan karena sifat final dan mengikat, membawa konsekwensi apa yang sudah diputuskan MK harus dihormati semua pihak, secara legal formal, putusan MK itu legitimate. Putusan pengadilan betapapun salahnya, betapa bobroknya hakim itu dalam memutuskan perkara, putusan itu tetap mengikat, Secara formal hukum tetap harus dijalankan dan dipatuhi.
Menjadi pembicaraan hangat, serta menjadi liar, pada saat para politikus mengomentarinya, yang selalu berada dalam bingkai “Sahwat Politik”, tanpa dasar pijakan teori yang jelas, diantaranya adalah, pendapat bahwa MK berkewajiban menjelaskan putusan yang aneh ini, demikian menurut Mahfud Siddik, Hajrianto Thohari dll) , serta menjadi bola liar, saat dikomentari oleh para politisi yang lain, yang menganalogkan putusan MK ini sama dengan putusan perceraian, yang sudah diputus bercerai, tetapi berlakunya beberapa tahun lagi (YUSRIL IHZA MAHENDRA pada ILC (Indonesia Lawyer Club) edisi 4 Pebruari 2014) .
PERLUNYA HUKUM ACARA YANG LEBIH LENGKAP DI UU MK
Putusan MK tersebut, sejelek apapun harus dihormati oleh semua pihak, tetapi dengan beberapa koreksi perbaikan untuk penyempurnaan, agar putusan MK pada saat saat mendatang, lebih dihargai oleh masyarakat, diantaranya adalah menjadi pertanyaan publik tentang lamanya rentang waktu yang dibutuhkan oleh MK untuk memutus suatu perkara, rapat permusyawaratan hakim (RPH) dilaksanakan tanggal 26-3-2013, tetapi mengapa putusan diucapkan tanggal 31-1-2014, mengapa perlu waktu sekitar 10 bulan rentangan waktu relative lama untuk membaca putusan MK, bahkan kalau dihitung sejak perkara masuk ke MK waktunya menjadi lebih lama lagi, ini berbeda dengan Pengujian UU Penetapan Perppu MK (UU Nomor 4/2014), yang hanya perlu waktu yang pendek, yaitu sekitar 37 hari sejak terdaftar pada 26 Desember 2013 dan 8 Januari 2013, yang diputuskan pada tanggal 23 Januari 2014.
Andaikan putusan MK tentang pemilu serentak tersebut diucapkan segera mungkin setelah RPH, maka alasaan terbatasanya waktu untuk mempersiapkan pemilu serentak tahun 2014, menjadi terbantahkan, public menjadi curiga, apakah ada kepentingan-kepentingan politik yang bermain, apakah ada lagi pertimbangan non hokum, apakah ada intervensi dari pihak lain, dan pada akhirnya janganlah disalahkan kalau timbul kecurigaan atas masalah ini.
Dengan perbandingan kedua putusan ini, tidak ada pedoman jangka waktu yang digunakan oleh MK untuk memutus suatu perkara, mulai dari perkara masuk sampai dengan diputus. Disatu sisi Pengujian UU Penetapan Perppu MK (UU Nomor 4/2014), perlu waktu 37 hari. Sementara pengujian UU Pilpres (UU 4/2008) perlu waktu 1 tahun 13 hari.
Untuk mengatasi permasalahan ini, perlu penyempurnaan terhadap UU MK. Harus diakui bahwa UU MK (UU 24/2003) masih kurang mengakomodir beberapa problem yang muncul, diantaranya tentang problem waktu ini, memang tentang hokum acara juga sudah ada dalam UU 24/2003 (lihat pasal 28 sampai dengan pasal 85), bahkan dalam perubahan yaitu yang mendasarkan pada UU 8/2011, rentangan waktu belum juga secara limitative ditetapkan oleh UU. Dengan demikian tentang rentang waktu yang panjang tersebut, sementara bisa disimpulkan bahwa tidak unsure kesalahan yang dilakukan oleh Hakim MK dalam memutuskan perkara ini.
Sebagai bahan perbandingan, misalnya Undang-undang Tentang pengadilan Tindak Pidana Korupsi yaitu UU 46/2009 (pasal 29 sampai dengan pasal 32) secara tegas telah mengatur rentangan waktu sejak perkara dilimpahkan sampai dengan diputus oleh hakim. Dengan telah secara limitative diatur, menjadi pedoman wajib untuk dilaksanakannya. Hal ini yang tidak diatur dalam UU MK, karena itulah sebagai bahan perbaikan kedepannya masalah-masalah ini harus dituntaskan, sehingga kehidupan kenegaraan kita selalu berjalan dalam koridor yang diharapkan.
Pada akhirnya terimalah putusan MK tentang pemilu serentak yang baru bisa dilaksankan pada tahun 2019 nantinya, jangan dipaksakan untuk dilaksanakan pada tahun 2014 ini, karena semua putusan itu semuanya sudah ada dalam rencana Allah SWT, semuanya telah ditetapkan sebelum manusia diciptakan, jangan berfikir saat ini, berfikirlah untuk hari kedepan yang lebih baik, dan bagi yang insan-insan politik jadikanlah moment ini untuk berkaca diri sekaligus berbenah, dan bagi seluruh masyarakat Indonesia jadikanlah momen ini untuk meneropong sekaligus memilah dan memilih siapakah calon pimpinan kita di masa depan, karenanya kita harus sadar, bahwa kita sajalah, rakyat Indonesia sajalah pemilik sah negeri ini, tidak ada yang lain.