logo pt ambon baru

   
SISTEM INFORMASI PENELUSURAN PERKARA
SISTEM INFORMASI PENELUSURAN PERKARA
Sistem Informasi Penelusuran Perkara adalah aplikasi resmi dari Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk membantu para pencari keadilan dalam monitorin...

Lebih Lanjut
KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
Pengadilan Tinggi Ambon menyajikan informasi kepada publik ataupun masyarakat mengenai hal-hal ataupun keadaan yang ada dilingkungan Peradilan Umum

Lebih Lanjut
SMALL CLAIM COURT GUGATAN SEDERHANA
SMALL CLAIM COURT GUGATAN SEDERHANA
Agar warga negara lancar dalam mengurus usahanya, tentu proses mengurus sengketa bisnis perlu dipersingkat, sehingga tidak membuang waktu serta terbuk...

Lebih Lanjut
SIWAS - WHISTLEBLOWING SYSTEM
SIWAS - WHISTLEBLOWING SYSTEM
Bagi Anda yang memiliki informasi dan ingin melaporkan suatu perbuatan berindikasi pelanggaran yang terjadi di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indo...

Lebih Lanjut
CEK INFO PERKARA MELALUI SMS CENTER
CEK INFO PERKARA MELALUI SMS CENTER
Anda dapat mengecek Informasi dan Layanan dapat melalui WA Bot di Nomor +62811 4702 223.

Lebih Lanjut
POS LAYANAN BANTUAN HUKUM
POS LAYANAN BANTUAN HUKUM
Bebas biaya perkara bagi yang tidak mampu. Anda yang kurang mampu berhak mendapatkan layanan bantuan hukum secara cuma-cuma. Gunakan hak anda untuk me...

Lebih Lanjut
Mendukung Fitur Aksesibilitas Bagi Pengguna Difabel
Mendukung Fitur Aksesibilitas Bagi Pengguna Difabel
Situs Pengadilan Tinggi Ambon memiliki fitur aksesibilitas sesuai dengan WCAG 2.0 seperti pengatur ukuran font, kontras warna, serta konversi teks ke ...

Lebih Lanjut
ZONA INTEGRITAS, NO KORUPSI !!! NO PUNGLI !!!
ZONA INTEGRITAS, NO KORUPSI !!! NO PUNGLI !!!
Anda berada dalam kawasan Zona Integritas. Apapun Bentuknya, Hukum Tidak Bisa Dibeli!!! Mari Kita Mewujudkan bersama-sama Badan Peradilan yang Bersih ...

Seleksi Terbuka Pengisian Jabatan Pejabat Struktural Sewilayah Hukum Pengadilan Tinggi Ambon Tahun 2021

Ditulis oleh Super Admin on .

Dalam rangka pengisian Jabatan Struktural Tahun 2021, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, dengan ini kami mengundang Pegawai Negeri Sipil yang telah memenuhi syarat untuk mendaftarkan diri seleksi terbuka pengisian jbatan Struktural pada Satuan Kerja Pengadilan Negeri dalam Wilayah Hukum Pengadilan Tinggi Ambon.

MENGENAL PEMBARUAN KEADILAN RESTORATIF DI PENGADILAN

Ditulis oleh Andi Agung on .

tuaka was

oleh: H. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.Hum (Ketua Kamar Pengawasan MA)

Pengantar

Mahkamah Agung pada tahun ini menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Perma 1/2024 dibuat untuk mengakomodir kebutuhan praktik peradilan dalam menangani perkara pidana yang bermuara pada perdamaian antara korban dan pelaku dengan pendekatan restorative justice atau keadilan restoratif.

Keadilan Restoratif didefinisikan dalam Pema 1/2024 sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan. Hal ini berarti menggeser tujuan pemidanaan berupa pembalasan yang dalam khasanah teoritis dikenal sebagai teori absolut atau teori retributive menjadi upaya memulihkan korban tindak pidana, memulihkan hubungan antara terdakwa, korban, dan/atau masyarakat, menganjurkan pertanggungjawaban terdakwa dan menghindarkan setiap orang, khususnya anak, dari perampasan kemerdekaan.

Selama ini keadilan restoratif telah dilakukan di pengadilan dalam perkara anak yang berhadapan dengan hukum melalui diversi sebagaimana dimaksud Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan mekanisme yang tersistematis dalam hukum acara pidana yang khusus sedangkan  bagi pelaku tindak pidana “dewasa” keadilan restoratif juga telah dilakukan sejak lama namun belum memiliki pedoman yang sama mengenai jenis perkara yang dapat dilakuan keadilan restoratif, syarat-syarat terhadap perkara yang dapat dilakukan keadilan restoratif dan tata cara penerapannya sehingga kerap menyebabkan disparitas dalam putusan-putusan hakim yang berdampak pada tidak terciptanya unifikasi hukum. Sejumlah isu terhadap hal-hal tersebut dijawab oleh Mahkamah Agung melalui Perma 1/2024.

Praktik Peradilan dan Pembaruan Keadilan Restoratif

Merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Mahkamah Agung pada tahun 2021 dengan judul “Kajian Restorative Justice Dari Perspektif Filosofis, Normatif, Praktik dan Persepsi Hakim”, ditemukan adanya berbagai macam putusan hakim terhadap penerapan keadilan restoratif yakni diantaranya Restorative Justice sebagai dasar peringanan pidana penjara, Restorative Justice sebagai dasar pidana percobaan, Restorative Justice sebagai dasar penjatuhan pidana denda, Restorative Justice sebagai dasar pengembalian kepada orang tua, Restorative Justice sebagai dasar putusan tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard), Restorative Justice sebagai dasar putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging), dan Restorative Justice sebagai dasar peniadaan pidana.

Berbagai putusan tersebut memiliki ratio decidendi yang bersandar pada penilaian hakim terhadap hubungan hukum antara pelaku dan korban serta penafsiran hakim terhadap tujuan pemidanaan yang dikaitkan dengan hukum acara pidana. Namun melalui Perma 1/2024, Mahkamah Agung memberikan pedoman, agar bentuk putusan hakim berupa peringanan pidana penjara atau penjatuhan pidana bersyarat/pengawasan apabila terjadi “kesepakatan perdamaian dan/atau kesediaan terdakwa untuk bertanggung jawab atas kerugian dan/atau kebutuhan Korban sebagai akibat tindak pidana” sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (1) Perma 1/2024.

Norma dalam Pasal 19 ayat (1) Perma 1/2024 tersebut menjadi bagian yang lama diperdebatkan dalam diskursus pembahasan oleh kelompok kerja yang ditetapkan oleh Ketua Mahkakamah Agung berdasarkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor: 238/KMA/SK/XI/2021 tentang Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Penanganan Perkara Berdasarkan Prinsip Keadilan Restoratif. Hal tersebut karena keberlakukan ketentuan Pasal 191 ayat (1) KUHAP mengenai kualifikasi putusan bebas, Pasal 191 ayat (2) KUHAP mengenai kualifikasi  putusan lepas dan Pasal 193 ayat (3) KUHAP mengenai penjatuhan pidana sehingga apabila perbuatan pidana terbukti secara sah dan meyakinkan maka pilihan hakim dalam putusan berupa menjatuhkan pidana.

Berbeda dengan yang kewenangan yang dimiliki pada tingkat penyidikan berupa penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf i KUHAP dan pada tingkat penuntut umum berupa  penghentian penututan sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP kecuali bagi anak yang berhadapan dengan hukum hakim dapat mengeluarkan penetapan penghentian pemeriksaan setelah kesepakatan diversi dilaksanakan sepenuhnya.

Penegasan Perma 1/2024 dalam menjatuhkan pidana sebagaimana dimaksud Pasal 193 ayat (3) KUHAP ialah agar hakim menjatuhkan putusan yang lebih ringan dari ancaman maksimal pasal yang didakwakan maupun lebih ringan dari tuntutan penuntut umum atau menjatuhkan putusan berupa pidana bersyarat/ pengawasan dengan syarat umum : tindak pidana yang dilakukan dapat diberikan pidana bersyarat/pengawasan dan terdakwa layak untuk dipidana dengan pidana bersyarat/pengawasan serta terdakwa telah melaksanakan seluruh kesepakatan.

Perma 1/2024 memberikan pengaturan soal jenis perkara yang dapat dilakukan proses keadilan restoratif di dalam Pasal 6 ayat (1) yakni a). tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana ringan atau kerugian Korban bernilai tidak lebih dari Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) atau tidak lebih dari upah minimum provinsi setempat, b). tindak pidana merupakan delik aduan, c). tindak pidana dengan ancaman hukuman maksimal 5 (lima) tahun penjara dalam salah satu dakwaan, termasuk tindak pidana jinayat menurut qanun, d). tindak pidana dengan pelaku Anak yang diversinya tidak berhasil atau e.) tindak pidana lalu lintas yang berupa kejahatan. Pengaturan jenis perkara ini untuk memberikan ruang secara khusus dalam menangani perkara dengan kualifikasi di bawah syarat diversi dalam SPPA dan sebagian lainnya bersesuaian dengan pelaksanaan keadilan restorative di kejaksaan berdasarkan Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Sebagian kalangan menganggap keadilan restoratif hanya akan menguntungkan para pelaku yang mampu secara finansial tanpa mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan terhadap korban tindak pidana namun hal tersebut terbantahkan dengan keberlakuan ketentuan Pasal 6 ayat (2) Perma 1/2024 yang menentukan bahwa “Hakim tidak berwenang menerapkan pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal : korban atau terdakwa menolak untuk melakukan perdamaian, terdapat Relasi Kuasa; atau terdakwa mengulangi tindak pidana sejenis dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun sejak terdakwa selesai menjalani putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.

Misalnya terdapat tindak pidana penganiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan yang memenuhi syarat keadilan restoratif namun penganiayaan tersebut dilakukan oleh seorang manajer kepada staf pada suatu perusahaan sehingga terjadi relasi kuasa dimana kedudukan manajer lebih superior yang berpotensi mengancam keberlanjutan karir korban diperusahaan. Pada kondisi yang demikian ini, maka hakim mesti memastikan apakah korban bersedia melakukan upaya perdamaian atas dasar penerimaan/kehendak sendiri atau justru dilakukan atas dasar kekhawatiran masa depannya pada perusahaan tersebut.

Ada pula anggapan soal pengulangan upaya keadilan restoratif terhadap perkara anak yang gagal dilakukan diversi sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf d. Pembentukan norma tersebut dimaksudkan agar mengoptimalkan penjatuhan pidana bersyarat bagi anak berupa : 1). pembinaan di luar lembaga, 2). pelayanan Masyarakat, atau  3). pengawasan. Pidana dengan syarat dapat dijatuhkan oleh Hakim dalam hal pidana penjara yang dijatuhkan paling lama 2 (dua) tahun dengan syarat umum : anak tidak akan melakukan tindak pidana lagi selama menjalani masa pidana dengan syarat dan syarat khusus : untuk melakukan atau tidak melakukan hal tertentu yang ditetapkan dalam putusan hakim dengan tetap memperhatikan kebebasan Anak sebagaimana dimaksud Pasal 73 UUSPPA.

Pencatatan Perkara Keadilan Restoratif

Pada bagian lainnya, Ketentuan Pasal 21 Perma 1/2024 memberikan kewajiban kepada para hakim, “Dalam hal mekanisme Keadilan Restoratif yang terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung ini diterapkan, Hakim mencantumkan ketentuan Peraturan Mahkamah Agung ini dalam putusannya”. Ketentuan ini dimaksud agar peradilan mampu mengindentifikasi putusan-putusan hakim yang berhasil menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

Saat ini, Mahkamah Agung hanya dapat mempublikasikan keberhasilan keadilan restoratif terhadap perkara anak sebagaimana dimaksud dalam SPPA, padahal dalam banyak putusan lainnya hakim telah menerapkan keadilan restoratif. Pada Kepolisian RI, keberhasilan keadilan restoratif ditingkat penyidikan yang dipublikasikan sebanyak 18.175 perkara pada tahun 2023 dan pada Kejaksaan RI dengan keberhasilan sebanyak 2.407 perkara pada tahun 2023 sedangkan Mahkamah Agung hanya dapat mempublikaskan keberhasilan keadilan restoratif dalam diversi perkara anak sebanyak 464 perkara sehingga dengan berlakunya Pasal 21 Perma 1/2024 diharapkan Mahkamah Agung pada tahun 2024 dapat memetakan keberhasilan penggunaan keadilan restoratif pada lingkungan peradilan umum, mahkamah syar’iyah dalam lingkungan peradilan agama dan lingkungan peradilan militer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) Perma 1/2024.

RASA TAKUT MENGINTERVENSI DAN MENGOKOHKAN KEMANDIRIAN HAKIM

Ditulis oleh Andi Agung on .

DSC00336

Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.

Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung

Pengantar

Setiap manusia ditanamkan rasa takut akan sesuatu hal sehingga menyebabkan pola perilaku berubah menyesuaikan dengan penyebab rasa takut itu sendiri. Takut menurut bahasa memiliki beberapa arti yakni : 1). merasa gentar (ngeri) menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana, 2). Takwa, segan dan hormat, 3).tidak berani (berbuat, menempuh, menderita, dan sebagainya), 4). Gelisah, khawatir. 

Dalam perspektif psikologis, rasa takut merupakan bagian dari kecemasan. Atkinson memberikan pengertian kecemasan sebagai perasaan tidak menyenangkan yang ditandai dengan istilah-istilah seperti kekhawatiran, keprihatinan dan rasa takut yang kadang-kadang dialami dalam tingkat yang berbeda-beda. Berdasarkan pengertian tersebut, karakteristik rasa takut memiliki tingkatan yang berbeda-beda tergantung pada peristiwa yang dihadapi dan potensi resiko yang dapat dialami oleh seseorang.

Dalam kaitannya dengan profesi hakim maka terdapat titik singgung antara rasa takut dengan kemandirian hakim (independence of the judiciary) pada saat memeriksa dan memutus perkara dengan beberapa faktor yang mempengaruhinya. Secara umum rasa takut tidak dapat dideteksi secara langsung dari diri hakim karena terletak pada alam pikir, namun melalui observasi dan pengalaman dalam praktik peradilan, beberapa hal berikut ini dapat dikualifisir sebagai bentuk rasa takut yang berpotensi menggerus kemandirian hakim.

Rasa Takut dan Kemandirian Hakim

Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 diatur bahwa “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Salah satu ciri negara hukum, lembaga peradilan itu haruslah bebas (independent) dan tidak memihak (imparsial). Pada hakikatnya, peradilan yang bebas berkaitan dengan keinginan untuk memperoleh putusan yang seadil-adilnya melalui pertimbangan dan kewenangan hakim yang mandiri tanpa pengaruh dan campur tangan pihak lain. Kewenangan hakim tidak memihak lebih ditujukan kepada proses pelayanan agar pencari keadilan terhindar dari ekses-ekses negatif. Independensi menyangkut nilai-nilai substansial, sedangkan imparsial berkaitan dengan nilai-nilai prosedur.[1]  

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan kedudukan kemandirian hakim di dalam ketentuan Pasal 3 (1) yakni “Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan”. Berdasarkan wewenang dan tugasnya sebagai pelaku utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta itu merupakan cerminan perilaku hakim yang harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur.[2]

Prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan wujud sila pertama pada Pancasila yang diakomodir di dalam ketentuan Pasal 2 (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yakni Peradilan dilakukan "DEMI KEADI


[1]   M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, (Bandung : Alumni, 2012), hal.139.

[2] Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim, Pembukaan, hal.3.

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". Melalui amanat tersebut maka pertanggungjawaban tugas hakim pada saat memeriksa dan memutus perkara dilakukan berlandaskan prinsip umum keyakinan beragama yang mestinya dapat menguatkan konsistensi, integritas dan keberanian hakim mewujudkan keadilan.

                                        

Jaminan keamanan merupakan salah satu penyebab munculnya rasa takut hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam sejumlah peristiwa, hakim menerima perlakuan yang mengancam keselamatan sehingga menjadi korban pembunuhan, penganiayaan dan lain sebagainya padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman dalam ketentuan Pasal 48 ayat (1) mengatur bahwa “Negara memberikan jaminan keamanan dan kesejahteraan hakim dan hakim konstitusi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab penyelenggaraan kekuasaan kehakiman”. 

Ada dua frasa yang perlu dikritisi di dalam rumusan pasal tersebut yakni kewajiban negara memberikan jaminan keamanan dan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.  Secara terminologi, negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memiliki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat[1] sedangkan alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin organisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara adalah pemerintah. 

Jaminan keamanan hakim oleh pemerintah melalui aparat penegak hukum yang berwenang dilakukan melalui koordinasi antara pengadilan dengan pihak kepolisian merujuk pada mekanisme umum yang berlaku pada instansi lain sedangkan dalam penanganan perkara terorisme, jaminan keamanan diatur tersendiri dalam Peraturan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Nomor 


[1]  Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), (Jakarta: Kencana, 2012), hal. 120.

2 Tahun 2020 Tentang Tata Cara Pemberian dan Pelaksanaan Pelindungan Bagi Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Petugas Pemasyarakatan Beserta Keluarganya Dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme. 

Jaminan keamanan hakim juga memiliki hubungan dengan kewajiban menjaga wibawa peradilan sebagaimana maksud Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985  tentang Mahkamah Agung yang menegaskan “Demi menjamin terciptanya suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan  keadilan berdasarkan Pancasila,  maka perlu pula dibuat suatu  undang-undang yang mengatur  penindakan terhadap  perbuatan,  tingkah laku, sikap dan/atau  ucapan yang dapat merendahkan  dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan  peradilan yang dikenal sebagai "Contempt of Court ".

Untuk saat ini, hendaknya pengadilan memastikan koordinasi dengan pihak keamanan terkait dilakukan dengan optimal dan menjalankan protokol keamanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan untuk menghindari berbagai kemungkinan munculnya ancaman keamanan dan keselamatan sehingga para hakim yang bersidang terhindar dari rasa takut terhadap jaminan keamanan pada saat memeriksa dan memutus perkara. Namun dimasa depan, perlu ditelaah lebih lanjut dukungan pemerintah terhadap lahirnya Undang-Undang Contempt of Court maupun bentuk jaminan pengamanan melekat lainnya dari pihak yang berwenang termasuk penguatan pengamanan internal dari organ khusus yang ada disetiap pengadilan.

Ketakutan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemandirian hakim ialah opini publik. Secara etimologi opini publik adalah terjemahan dari bahasa Inggris yaitu public opinion. Sementara public opinion berasal dari bahasa latin yaitu opinari dan publicusOpinari mempunyai arti fikir atau menduga sedangkan publicus artinya adalah milik masyarakat luas. Berdasarkan makna secara etimologi tersebut maka opini publik adalah pendapat mayoritas masyarakat mengenai suatu informasi tertentu yang diperbincangkan.

Pembentukan opini publik terhadap perkara yang sedang ditangani menuntut hakim yang memeriksa perkara mempertahankan kemandirianya dengan mengesampingkan rasa takut terhadap perbedaan penilaian hakim dengan opini publik. Misalnya opini publik menganggap seorang terdakwa di persidangan sebagai pelaku kejahatan sedangkan hakim memiliki keyakinan terdakwa tidak bersalah berdasarkan bukti-bukti yang diajukan dipersidangan maka hakim dituntut menghilangkan rasa takut terhadap komentar negatif masyarakat terhadap putusan bebas yang akan dijatuhkan. 

Sudah menjadi resiko profesi hakim untuk dikomentari, dibully, dan bahkan dilaporkan kepada Badan Pengawasan, Komisi Yudisial, Ombudsman maupun kepada pihak-pihak lainnya. Lantas menjadi ragukah hakim atas putusan yang telah dijatuhkan ? Bila keragu-raguan itu ada maka sesungguhnya kemandirian hakim telah terbelenggu oleh opini publik. Konsep pandangan di atas menunjukkan rasa takut dapat mempengaruhi kemandirian hakim dalam proses pemeriksaan persidangan dan pasca persidangan. Dalam menghadapi keadaan semacam ini, hakim hendaknya berpegang teguh pada kode etik dan pedoman perilaku hakim butir 6 yakni bertanggungjawab. Bertanggungjawab bermakna kesediaan untuk melaksanakan sebaik-baiknya segala sesuatu yang menjadi wewenang dan tugasnya, serta memiliki keberanian untuk menanggung segala akibat atas pelaksanaan wewenang dan tugasnya tersebut.

Ketakutan berikutnya yang berpotensi mempengaruhi kemandirian hakim ialah pengawasan. Pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial namun pengawasan tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.[1]

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya, diatur pengertian Pengawasan dan Pembinaan atasan langsung adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh setiap pejabat pemangku jabatan struktural untuk membina dan mengendalikan secara terus menerus bawahan yang berada langsung di bawahnya untuk dapat melaksanakan tugas secara efektif dan efisien serta berperilaku sesuai dengan kode etik aparat peradilan dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]

Pejabat struktural dalam rangka mengawasi penanganan perkara oleh hakim dilarang mengancam pemberian sanksi, apabila hakim tidak menggunakan sumber hukum tertentu di dalam pertimbangan putusannya atau apabila hakim tidak menuruti kehendaknya terhadap suatu perkara yang sedang ditangani dengan alasan menjalin hubungan baik pengadilan dengan pihak tertentu. Hal ini menyebabkan konsep relasi kuasa dalam perkara pidana maupun perdata dapat ditarik muatannya ke ranah administratif peradilan yang mengekang kemandirian hakim, padahal jelas dalam undang-undang kekuasaan kehakiman diatur bahwa alasan dan dasar putusan merupakan kewenangan hakim yang memeriksa perkara.

Ketakutan terhadap pengawasan dapat juga menjadi bumerang bagi rasa keadilan. Misalnya ketika Hakim akan memutus perkara pidana, penasihat hukum terdakwa membuat berbagai macam pengaduan yang sebenarnya ditujukan untuk memberi tekanan agar Hakim memutuskan pidana dengan 


[1]  Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 39 dan Pasal 40.

[2]  Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya.

hukuman rendah maka ketika alur pikir tersebut menjadi alasan seorang terdakwa dihukum, pada saat itu ketakutan telah mengintervensi kemandirian. Hendaknya para hakim menganggap semua laporan/pengaduan sebagai suatu

hal yang biasa dalam menjalankan tugas-tugas yudisial sepanjang proses persidangan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undang dan menerapkan prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim dengan sebaik-baiknya namun Badan Pengawasan Mahkamah Agung maupun Komisi Yudisial juga mesti memperlakukan para hakim yang dilaporkan/diadukan dengan hormat serta menjunjung tinggi Kemandirian Hakim. 

Pengertian takut yang kedua sebagaimana termuat pada pengantar di atas adalah takwa. Pada hakikatnya setiap orang yang beriman, dituntut takut melanggar perintah dalam agama yang menghendaki kehidupan dijalankan dengan ideal dengan tujuan menciptakan keharmonisan. Konsep pengawasan oleh Tuhan adalah pengawasan tanpa batas mengingat kebesaranNya, sebagaimana disebutkan dalam Alquran At-Taghabun ayat (4) “Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu nyatakan. Dan Allah Maha Mengetahui segala isi hati”.

Arti kata takut berikutnya adalah hormat. Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di Bawahnya telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan akses terhadap keadilan (access to justice) diantaranya melalui keterbukaan informasi, digitalisasi sistem peradilan, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) dan banyak program lainnya yang kesemuanya dimaksudkan agar peradilan bermanfaat dan kepercayaan publik (public trust) meningkat. 

Menghormati segala upaya yang telah dilakukan Mahkamah Agung dan ketakutan mencoreng nama baik peradilan juga mestinya terpatri pada setiap hakim agar Visi Mewujudkan Badan Peradilan Indonesia Yang Agung dapat terwujud, khususnya melalui pelayanan berkeadilan dan putusan yang  memenuhi keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan keadilan sosial (social justice). Dengan demikian ketakutan terhadap pengawasan Tuhan dan ketakutan mencoreng nama baik peradilan akan mengokohkan kemandirian.

Penutup

Rasa takut mengintervensi kemandirian hakim apabila hakim membiarkan rasa takut mempengaruhi hilangnya keadilan dalam proses persidangan maupun pada saat menjatuhkan putusan. Rasa takut mengokohkan kemandirian hakim apabila hakim melekatkan ketakutannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan segala kekuasaannya dan menghindari sikap dan perbuatan yang dapat mencoreng nama baik peradilan. Seperti halnya prajurit yang bertempur dengan rasa takut kepada Tuhan dengan tujuan membela negaranya maka sekalipun gugur di medan pertempuran, sesungguhnya ia telah menang.

Referensi 

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

M. Hatta Ali, Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif, Bandung, Alumni, 2012.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pengawasan Dan Pembinaan Atasan Langsung Di Lingkungan Mahkamah Agung Dan Badan Peradilan Di Bawahnya.

Ubaedillah & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education), Jakarta, Kencana, 2012.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

RELEVANSI PASAL 56 ayat (1) KUHAP DENGAN PRINSIP MIRANDA RULE ATAU MIRANDA PRINCIPLE

Ditulis oleh Achmad Yani Tamher on .

Pasal 56 ayat (1) berbunyi :

Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai Penasihat Hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka.

Pasal 56 ayat (2) berbunyi :

Setiap Penasihat Hukum yang ditunjuk untuk bertindak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), memberikan bantuannya dengan cuma-cuma.

Penjelasan Pasal 56 ayat (1) berbunyi :

Sebagaimana Asas Peradilan yang wajib dilaksanakan secara sederhana, cepat dan biaya ringan serta dengan pertimbangan bahwa mereka yang diancam dengan pidana kurang dari lima tahun tidak dikenakan penahanan kecuali tindak pidana tersebut dalam pasal 21 ayat (4) huruf b, maka untuk itu bagi mereka yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih, tetapi kurang dari lima belas tahun, penunjukan Penasihat Hukumnya disesuikan dengan perkembangan dan keadaan tersedianya tenaga Penasihat Hukum ditempat itu.